Desa Demuk  merupakan salah satu dari sembilan desa  yang terletak wilayah administrasi Kecamatan Pucanglaban, Kabupaten Tulungagung.

Seiring dengan kemajuan, Desa Demuk sesudah Indonesia merdeka selain  pedukuhan Boto masuk wilayah Kabupaten Blitar, pada tahun 1968 terjadi pemekaran wilayah menjadi desa sendiri yaitu :

Desa Demuk adalah cikal bakal Kecamatan Pucanglaban yang terletak kurang lebih  30 km arah tenggara dari kota Tulungagung. Meskipun desa terpencil yang letaknya di dataran tinggi pegunungan kapur, namun juga tidak ketinggalan turut menghiasi lembaran sejarah.

Kalau menyebut nama Demuk, maka kesan pertama yang timbul menggambarkan nama sebuah desa tempat orang sakti atau linuwih. Desa Demuk  pertengahan abad XIX masih berwujud hutan belantara yang tidak pernah diambah oleh manusia. Tak berani mendekat karena sudah dikenal keangkerannya. Dikatakan dalam bahasa jawa WINGIT ’’ jalmo moro jalmo mati sato moro sato mati ”. Artinya baik manusia atau hewan yang datang ke tempat itu akan mati.

Banyak cerita–cerita ajaib yang tumbuh di kalangan masyarakat Tulungagung mengenai babat atau sejarah desa Demuk terutama yang menyangkut keistimewaan orang pertama atau cikal bakal yang babat Desa Demuk ialah Raden Mas Djajeng Koesoemo. Nama ini hampir semua orang tua-tua sudah mengenalnya.

Raden Mas Djajeng Koesoemo masih keturunan Raja Mataram atau Hamengku Buwono II. Beliau putra Raden Mas Tumenggung Djajaningkrat Bupati Ngrowo (Tulungagung) ke-V. Beliau lahir pada tahun 1825 di Desa Jajaran, Kecamatan Bantul, Kabupaten Karanganyar, Jogjakarta.

Pada tahun 1849  RM. Djajeng Koesoemo sudah menjabat Wedono di Srengat, wilayah utara sungai Brantas. Kemudian pada tahun 1851 menjabat Wedono di Nganjuk.

Karena kedekatanya dengan masyarakat sehingga setiap orang mengenalnya . Erat hubungan ini lebih membangkitkan jiwa kepatriotannya, sehingga di mana saja namanya sering disebut orang. Beliau orang yang keras hati dan pemberani tapi perasaanya halus. Hal ini terbukti dengan terjadinya peristiwa Ngujang.

Pada waktu itu jembatan Ngujang sedang dalam keadaan dibangun, kuli-kuli bekerja dengan sibuknya.

Dalam perjalanan dari Nganjuk ke Tulungagung, RM. Djajeng Koesoemo tertarik pada kesibukan pekerja-pekerja pembangunan jembatan, sehingga berhenti untuk melihatnya. Di antara berpuluh puluh kuli bangunan terdapat sekelompok orang yang sedang beristirahat  sambil duduk menikmati bekal  (bontrot) yang dibawa dari rumah. Kebetulan pada waktu itu ada seorang petugas Belanda yang sedang mengadakan pengawasan, melihat ada beberapa orang pekerja yang sedang duduk sambil makan, Belanda itu marah-marah. Dengan membentak-bentak orang Belanda itu menyuruh orang-orang bekerja kembali dan menaburkan pasir pada makanan para pekerja tersebut.

RM.Djajeng Koesoemo mengetahui semua kejadian itu, beliau tidak dapat menabahkan hatinya. Tanpa pikir panjang dia menghunus pusakanya terus diacungkan ke arah orang Belanda yang kasar itu. Karena pusakanya sangat ampuh, maka orang belanda itu tak dapat bergerak dan mati dalam keadaan berdiri. Keris pusaka itu bernama  Kyai Semar Mesem yang sampai sekarang masih disimpan oleh keturunan RM.Djajeng Koesoemo.

Dengan terjadinya peristiwa itu RM.Djajeng Koesoemo  oleh Pemerintah Belanda dipersalahkan. Tetapi karena beliau seorang Wedono dan putra Bupati Ngrowo (Tulungagung) tidak dikenakan hukuman penjara,  melainkan diselong atau dihukum buang.

Beliau diselong ke suatu hutan belantara yang masih angker yang terletak  di sebelah tenggara Kabupaten Tulungagung.

Surat keputusan berhenti dari jabatan karena pensiun Onderstand tanggal 23 maret 1880. Sedangkan surat ijin babat hutan diperoleh tanggal 10 Oktober 1883, dengan nomor: 755.

Pada waktu berangkat beliau diikuti oleh 40 orang abdi atau penderek yang membantu babat hutan. Karena hutannya sangat lebat dan angker, ketika membabat hutan banyak halangan terutama makluk halus yang menghalang halangi.

Makluk halus (demit) yang marah (ngamuk) bisa dimaklumi oleh RM.Djajeng Koesoemo karena tempatnya dibabat. Tetapi dengan kesabaran dan kesaktiannya semua penghalang itu bisa disingkirkan. Karena pada waktu membabat hutan menghadapi makluk halus yang marah  (demit ngamuk) maka tempat itu dinamakan Demuk.

Kala itu Demuk menjadi desa yang ramai dan terbagi menjadi beberapa dukuh yaitu: Demuk, Kasrepan, Puser, dan Boto.

Raden Mas Djajeng Koesoemo Wafat pada tanggal 9 Desember 1903  dimakamkan di pesareyan Astono Puroloyo desa Demuk.

Perjuangan beliau diteruskan oleh keturunanya yang berjumlah 7 orang.

Putra putra RM.Djajeng Koesoemo :

  1. Djajeng Wilogo
  2. Djajeng Prawiro
  3. Soemo Atmojo
  4. Soemo Winoto
  5. Poerbo Koesoemo
  6. Noto Soebroto
  7. Danoe Koesoemo

Sejarah Pemerintahan Desa Demuk

Seiring dengan kemajuan, Desa Demuk sesudah Indonesia merdeka selain pedukuhan Boto masuk wilayah Kabupaten Blitar, pada tahun 1968 terjadi pemekaran wilayah menjadi desa sendiri yaitu :

  1. Dusun Puser menjadi Desa Sumberdadap
  2. Dusun Sumberbendo menjadi Desa Sumberbendo
  3. Dusun Panggunguni menjadi Desa Panggunguni

Desa Demuk sekarang wilayahnya terbagi menjadi 4 Dusun :

  1. Dusun Demuk (krajan)
  2. Dusun Kasrepan
  3. Dusun Gajahoyo
  4. Dosun Rowoagung